Tulisan ini diikutkan
pada 8 Minggu Ngeblog bersama Anging Mammiri, minggu keenam.
Dalam kehidupan
sehari-hari terkadang sesuatu yang tak lucu dianggap menjadi bahan lelucon,
parahnya terkadang hal tersebut justru jatuhnya melecehkan salah satu pihak.
Sudah berapa tayangan di televisi yang mendapat peringatan dari KPI (Komisi
Penyiaran Indonesia) karena lawakan atau bahan becandaannya justru “menghina “ pihak tertentu. Lelucon yang
tak lucu, lelucon yang dipaksakan, lelucon yang tak cerdas saya menyebutnya.
Miris, di satu sisi
orang tertawa terbahak-bahak sementara di sisi lain ada pihak lain yang memendam
rasa sakit atau marah. Tak hanya “lelucon” verbal, lihat contohnya, ada yang
mau duduk kemudian kursi ditarik akhirnya orang yang mau duduk tersebut jatuh
kesakitan, yang menarik kursi tertawa terbahak-bahak menganggap itu adalah
lelucon, padahal bisa jadi jika saat jatuh terduduk orang tersebut kesakitan
atau malah fatalnya bisa mengalami kebutaan.
Ini yang terjadi pada
saya, mungkin bagi sebagian orang ini akan dianggap aneh dan bisa jadi bahan
becandaan yang sama sekali tak lucu. Saya phobia
terhadap buah, hampir semua buah, jijik dan bisa muntah (maaf), jangankan
melihat bentuk aslinya, melihat gambarnya saja, atau harus menceritakan detail
apa yang membuat saya jijik seperti ini itu membuat kepala pusing dan mual.
Sayangnya, karena benda yang saya “takuti”
ini tak pada umumnya, saya sering jadi bahan bullyan.
Sebagai contoh, beberapa
kali sampai saya dianggap lebay dan menjadi pusat perhatian, karena saya akan
menjerit bahkan saat dalam suatu forum resmi yang kebetulan ada snack yang kebetulan ada buahnya, lalu
oleh orang lain buahnya sengaja didekatkan ke saya. Ini tidak lucu, kawan!!
Ya, perempuan takut
kecoak, takut kodok, takut cacing, takut ketinggian, takut gelap itu masih
wajar, tapi takut buah? “ahh becanda lo”
mungkin begitu reaksi bagi sebagian orang yang mengetahui.
Saya tidak tahu persis
sejak kapan saya takut, jijik, dan apapun itu padanan katanya. Yang saya ingin
ketika kecil justru lebih parah, saya melarang orang yang makan buah di dekat
saya, saya akan berteria-teriak “buang..buang...”.
Entah berapa kali saya hampir muntah (maaf) di kendaraan umum bukan karena saya
mabok kendaraan, tapi sering saya melihat sampah-sampah dari BUAH.
Beberapa orang yang
hanya sedikit tahu menganggap saya ini tidak suka makan buah, padahal bukan
karena tidak suka makannya, saya dengan wujudnya saja sudah takut. Beberapa ada
yang menyarankan saya untuk ke psikiater eh atau psikolog untuk menyembuhkan
phobia saya. Saya enggan, bukan tak ingin sembuh, tapi rasanya, sudahlah ini
kekurangan saya.
Saya melihat di
sekitar saya, jangankan takut buah, takut terhadap sesuatu yang dianggap umum
saja suka dibuat bahan becandaan. Takut cicak dilempar cicak, takut ular
dikasih kado ular-ularan plastik. Please,
ini bukan lelucon teman, ini tidak lucu. Pernahkan kalian bayangkan jika ada di
posisi kami. Sebatas kaget, menjerit pada saat kejadian mungkin masih wajar,
tetapi kadang saya pribadi ya kejadian seperti itu sering terbawa sampai
beberapa waktu kemudian, masih terbayang-bayang. Mungkin bagi yang lain ini
lelucon, saat lelucon itu sudah berhenti, lantas langsung berhenti pulakah
ketakutan kami pada saat itu? Tidak.
Hal ini sama juga
ketika sering kata-kata “autis”. “idiot”, dan kata-kata lain dijadikan
bahan becandaan, Jujur saya geram. Pasti sering kan mendengar “duh kalau udah pegang BB jadi autis deh”.
Pernahkah kalian membuka mata? Betapa banyak anak autis di Indonesia yang berkarya,
jangan identikkan mereka dengan orang yang sepertinya hanya sibuk sendiri tanpa
menghasilkan karya ataupun prestasi. Begitupun dengan kata idiot atau kata
sejenisnya, hellooo... mereka itu membutuhkan kita, bukan untuk dihina, mereka
hanya berkebutuhan khusus yang berbeda dengan kita. Jangan jadikan mereka
lelucon atau hinaan. Tak seorang pun kok yang ingin hidup dengan kekurangan,
kalau boleh memilih siapa sih yang engga ingin hidup dengan segala
kesempurnaan.
So, yuk... jangan jadikan perbedaan
yang dimiliki orang lain yang mungkin berbeda dengan keadaan pada umumnya
sebagai bahan lelucon untuk dihina.
Rumah Dahlia, Rabu 15
Mei 2013
12:12