Kamis, 28 Oktober 2010

Rapuh

Saya rapuh
Seperti sebutir pasir
Saya lemah
Laksana daun kering
Tak bisa melawan
Terhempas dan terbawa kemanapun angin membawa

Itulah saya dihadapanMu

KHM No. 4, Kamis, 28 Oktober 2010
19:55:43

jalan-jalan




Rasa

Ini semua tentang rasa
Rasa yang akhir-akhir ini mengusik
Rasa yang baru saya sadari keberadaannya
Rasa yang tak saya ketahui kedatangannya

Rasa yang entah bagaimana menyebutnya
Rasa yang entah bagaimana mendeskripsikannya

KHM No.4, 16 agt '10
21.35

Secangkir Kopi di Kala Hujan

Seperti menikmati secangkir kopi di kala hujan
Mungkin seperti itulah rasanya
Entah apa yang membuatnya nikmat
Rasa pahit kopinyakah?
Rasa manis dari gulanyakah?
Atau perpaduan keduanya?
Karena panasnya yang menghangatkan?
Atau karena dinginnya udara?

Entahlah sulit dijelaskan

Tak mudah dimengerti dan dipahami
Dan memang tak harus dimengerti dan dipahami

Seperti itulah dirimu untukku..

KHM No.4, 16 Agt '10
23.57

Kesepian

di sini
sepi menghampiri
kesunyian menerkam

disini
aku dihanyutkan rasa bosan
diseret arus jenuh
ditenggelamkan kesendirian

KHM No.4, 22 Agt 2010
08:41:55

Perasaan yang Tak Terdefinisikan

Beberapa minggu terakhir hingga saya menulis ini, saya sedang menikmati sebuah rasa. Rasa yang saya ibaratkan seperti saat menikmati secangkir kopi di kala hujan *saya pernah membuatnya dalam ke dalam note di sebuah jejaring sosial, facebook. Rasa yang tak bisa dijelaskan secara gamblang.

Entah apa dan bagaimana menjelaskannya lebih jauh, secara simpel, jatuh cinta mungkin itu kata yang mendekati tepat. Duh jadi malu saya. Saya sendiri lebih memilih kata klik untuk mewakili perasaan itu, ada perasaan nyaman, nyambung, dan apa ya?*haduhh saya malah jadi bingung sendiri menjelaskannya.

Sebut saja namanya, Uno. Saya mengenalnya dalam sebuah kesempatan yang tak pernah saya duga sebelumnya. Ketika pertama kali kami ngobrol, entah bagaimana ceritanya, ada perasaan “kok saya seperti sudah mengenalnya”, klik, atau entahlah, saya merasa dekat. Ya, mungkin perasaan seperti pernah bertemu sebelumnya.

Saya tak berani ungkapan lebih jauh, bagaimana dia dan seperti apa dia*takut ketahuan dia siapa. Hehehehe. Saya malu. Selain itu, saya takut diledekin. Sahabat saya yang saya jadikan tempat saya curhat tentangnya, respon pertamanya “aku belum pernah melihat kamu sebinar-binar ini, dan kamu tahu? Aku mengalami yang kamu alami ini ketika saya SMP”. Hehehehe. Entah apa maksudnya,mungkin puber saya telat. *jiaaahh.

Apa mungkin ini cinta pertama? Apapula itu cinta pertama? Entahlah, saya tidak mau menyebutnya cinta pertama, cinta terakhir *loh jadi seperti judul lagu, atau cinta-cinta yang lain *apalagi Cinta Laura. Saya merasakan nyaman, itu yang pasti. Bagaimana itu bisa? Atau lebih jauhnya seperti apa. Saya pun tidak tahu. Tidak terdefinisikan, mungkin itu kalimat yang tepat.

Seperti kebanyakan orang yang mengalami rasa ini, saya mulai seperti lagunya eyang Titiek Puspa. Seperti berikut

Biar siang biar malam terbayang wajahnya
Biar hitam biar putih manislah nampaknya
Dia jauh aku cemas tapi hati rindu
Dia dekat aku senang tapi salah tingkah
Dia aktif aku pura-pura jual mahal
Dia diam aku cari perhatian

Hehehe sepert itulah yang sedang saya alami. Aduuuhh jadi malu saya. Akun facebook saya sedang deactived, saya sedang mencoba mencari tahu, kira-kira dia sadar tidak, dan kira-kira apakah dia akan mencari saya? Harap-harap cemas.

Setelah berkomunikasi selama beberapa minggu, belum bisa dipastikan bagaimana perasaannya. Saya juga tak berharap dia menjadi yang orang sebut pacar, ya kalau memang Uno ini mempunyai perasaan yang sama, ya lamar saya dong, nikah aja. Hehehehe.

Berdasarkan pendapat sahabat saya, seharusnya “kejujuran” saya secara implisit, Uno ini seharusnya sadar tentang perasan saya. Saya termasuk orang yang ekspresif, tak perlu dijelaskan dengan gamblang,orang akan mengetahui perasaan saya. Apalagi melalui status-status saya di facebook, yang sering ekspresif sekali.

Namun seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, bagaimana definisi perasaan itu tak bisa dipastikan. Duh kok jadi ribet begini ya? Inilah saya, saya yang ingin bercerita tentangnya namun tak ingin diketahui siapa yang sedang saya ceritakan.

Dan hanya satu yang bisa dipastikan, saat saya sedang menulis tentang perasaan ini, saya sambil cengar cengir, senyam senyum ga jelas, ditemani lagu-lagu full of love. Inget umur Fin!!! Hehehehe.

Akhirnya saya berani mengungkapkan semuanya di sini, dan ini bukannya tanpa alasan. Saya berani menuliskan di sini, karena tak banyak teman saya yang tahu saya punya blog ini. Hahahaha.

*Alhamdulillah selesai, ada teka-teki yang terjawab jika jeli membaca tulisan ga penting ini.

KHM No. 4, Rabu, 27 Oktober 2010
21:14:44

Selasa, 26 Oktober 2010

I’m Not A Girl, Not Yet A Woman (Ketika Sebuah Kedewasaan Dipertanyakan)

I'm not a girl,
Not yet a woman.
All I need is time,
A moment that is mine,
While I'm in between
Lagu yang dipopulerkan Britney Spears di tahun 2000an ini sekarang sedang menjadi theme song saya. Ibaratnya jadi lagu wajib saya saat ini. Entah, kenapa kata dewasa akhir-akhir menjadi topik favorit.
Kemarin seorang teman bercerita kepada saya dan kemudian dia menuliskannya dalam sebuah note di jejaring sosial facebook, dia bertanya, “kak apa seumuranku itu ga  boleh suka Mickey Mouse sih?”, saya sudah menebak arah pembicaraan ini akan bermuara pada “ketika sebuah kedewasaan dipertanyakan?”.
Bukan ahli nujum atau cenayang, namun hal yang sama sedang saya alami akhir-akhir ini. Di lingkungan kerja, saya termasuk yang ikutan golongan muda-muda *jiaahh.  Saya baru saja menginjak 23 tahun 8 hari ketika menulis ini. Sedangkan teman-teman saya rata-rata berusia 25 tahun ke atas. Sebenarnya tak ada masalah bagi saya, hanya terkadang risih dan kesal ketika mereka mengatakan “dasar bocah” atau “Sssttt..jangan ngomongin itu, masih ada yang dibawah 25 tahun nih”. Ihh apaan coba?. Pernah juga seseorang bertanya “Afi, anak tunggal ya? Apa anak bungsu?”, ketika itu saya tidak langsung menjawab dan justru bertanya “kenapa?”, dan beliau ini menjawab “ya dari gaya bicara kamu keliatan”.
Sebenarnya bukan hal aneh, dan ini pun bukan hal baru bagi saya. Ketika saya SMA dan dikira masih SMP, ketika itu saya dan Ibu bertemu seorang kawan Ibu, ngobrollah mereka kesana kemari sampai kemudian bertanya, “Anakmu kelas berapa?” tanya beliau, saya menjawab “kelas 2”. Si Tante langsung bilang “waahh sama dong sama anak tante, di SMP 1 ya? Kenal si “ini” ga? *Tante itu menyebutkan nama anaknya. Ibu saya ketawa “dia kelas 2 SMA mbak, bukan 2 SMP”.  Dan kejadian-kejadian seperti itu sering sekali terjadi. Saya menganggapnya biasa, mungkin bagi si Tante dan yang lain, terasa aneh ketika ada anak SMA masih sama Ibunya kemana-mana.
Namun, ini sempat menjadi beban tersendiri ketika saya masuk ke dunia kerja. Dulu mungkin malah bangga ya? Ihh saya  dianggep masih imut doong. *gubrak!!!  Bahkan ketika seorang teman kuliah cerita “kak, aku kesel deh dibilang anak kecil terus” saya justru menjawab “kan enak, berarti imut-imut,lucu, ngegemesin”. Sekarang saya mengalaminya, *karma nih . Kadang saya merasa tak dianggap, diremehkan, dan perasaan-perasaan sejenisnya. Walaupun saya tahu, kadang itu hanya perasaan saja. Namun ketika “stempel” bocah itu melekat seolah-olah ada semacam peringatan “heh bocah, kamu ga berhak!!!”.
Sampai suatu hati saya cerita ke seorang teman, setelah bertanya ke hampir setiap teman dekat saya, “apa saya ini masih terlihat bocah?”. Hampir semua jawaban sama dengan teman saya ini, “kamu memang bocah, tapi luarnya, pembawaan kamu, gaya bicara kamu, memang masih terlihat seperti bocah, ga sesuailah dengan umurmu, tapi secara pemikiran ga bocah-bocah banget kok, ya masih ada sisi childishnya, tapi masih batas wajar kok”.
Seperti tadi pagi, ketika bangun tidur tiba-tiba saya berpikir “iya ya, umur saya itu sudah 23 tahun, tapi kenapa seolah saya masih 21 tahun”. Hehehehe... entahlah. Seandainya dilihat dari segi pergaulan memang saya akui, saya lebih merasa nyaman dengan yang berusia  di bawah saya atau adik kelas, saya merasa nyambung, dan mengerti, kalaupun yang seusia atau di atas saya, saya tanpa sadar “menuntut” mereka menjadi orang yang lebih dewasa daripada saya yang siap mendengar curahan hati, siap memarahi, mengingatkan, dsb.
Sebenarnya, saya tidak membatasi usia untuk menjadi teman saya. Tapi saya baru menyadarinya ternyata memang teman-teman dekat saya rata-rata adalah yang berusia di bawah saya *masih bisa gila bareng soalnya atau bukan satu angkatan (jika itu sekolah dan kuliah). Hehehehe. Dan entah mengapa, jika dengan teman sebaya, saya sering ga nyambung, ga klik, ga ngerti “dunia” mereka. Jadi sering berantem. Yaah, itulah saya.
Saya bertemu seorang teman, usianya di bawah saya, namun jika menurut jenjang pendidikan, angkatan dia di atas saya. Dia pernah bilang “kedewasaan seseorang itu dapat dilihat dari bagaimana dia menyelesaikan masalah”. Ya, kita sering terjebak dengan usia, pembawaan seseorang (bisa dengan cara bicara, caranya bersikap, dsb), gaya berpakaian, hobi, dsb, atau dengan kata lain cover-nya saja  untuk menentukan kedewasaan.
*lt.4 gatsu 52-53, Selasa, 26 Oktober 2010
10:43:14 AM
 

Ndoroayu's Zone Template by Ipietoon Cute Blog Design