I'm not a girl,
Not yet a woman.
All I need is time,
A moment that is mine,
While I'm in between
Lagu yang dipopulerkan Britney Spears di tahun 2000an ini sekarang sedang menjadi theme song saya. Ibaratnya jadi lagu wajib saya saat ini. Entah, kenapa kata dewasa akhir-akhir menjadi topik favorit.
Kemarin seorang teman bercerita kepada saya dan kemudian dia menuliskannya dalam sebuah note di jejaring sosial facebook, dia bertanya, “kak apa seumuranku itu ga boleh suka Mickey Mouse sih?”, saya sudah menebak arah pembicaraan ini akan bermuara pada “ketika sebuah kedewasaan dipertanyakan?”.
Bukan ahli nujum atau cenayang, namun hal yang sama sedang saya alami akhir-akhir ini. Di lingkungan kerja, saya termasuk yang ikutan golongan muda-muda *jiaahh. Saya baru saja menginjak 23 tahun 8 hari ketika menulis ini. Sedangkan teman-teman saya rata-rata berusia 25 tahun ke atas. Sebenarnya tak ada masalah bagi saya, hanya terkadang risih dan kesal ketika mereka mengatakan “dasar bocah” atau “Sssttt..jangan ngomongin itu, masih ada yang dibawah 25 tahun nih”. Ihh apaan coba?. Pernah juga seseorang bertanya “Afi, anak tunggal ya? Apa anak bungsu?”, ketika itu saya tidak langsung menjawab dan justru bertanya “kenapa?”, dan beliau ini menjawab “ya dari gaya bicara kamu keliatan”.
Sebenarnya bukan hal aneh, dan ini pun bukan hal baru bagi saya. Ketika saya SMA dan dikira masih SMP, ketika itu saya dan Ibu bertemu seorang kawan Ibu, ngobrollah mereka kesana kemari sampai kemudian bertanya, “Anakmu kelas berapa?” tanya beliau, saya menjawab “kelas 2”. Si Tante langsung bilang “waahh sama dong sama anak tante, di SMP 1 ya? Kenal si “ini” ga? *Tante itu menyebutkan nama anaknya. Ibu saya ketawa “dia kelas 2 SMA mbak, bukan 2 SMP”. Dan kejadian-kejadian seperti itu sering sekali terjadi. Saya menganggapnya biasa, mungkin bagi si Tante dan yang lain, terasa aneh ketika ada anak SMA masih sama Ibunya kemana-mana.
Namun, ini sempat menjadi beban tersendiri ketika saya masuk ke dunia kerja. Dulu mungkin malah bangga ya? Ihh saya dianggep masih imut doong. *gubrak!!! Bahkan ketika seorang teman kuliah cerita “kak, aku kesel deh dibilang anak kecil terus” saya justru menjawab “kan enak, berarti imut-imut,lucu, ngegemesin”. Sekarang saya mengalaminya, *karma nih . Kadang saya merasa tak dianggap, diremehkan, dan perasaan-perasaan sejenisnya. Walaupun saya tahu, kadang itu hanya perasaan saja. Namun ketika “stempel” bocah itu melekat seolah-olah ada semacam peringatan “heh bocah, kamu ga berhak!!!”.
Sampai suatu hati saya cerita ke seorang teman, setelah bertanya ke hampir setiap teman dekat saya, “apa saya ini masih terlihat bocah?”. Hampir semua jawaban sama dengan teman saya ini, “kamu memang bocah, tapi luarnya, pembawaan kamu, gaya bicara kamu, memang masih terlihat seperti bocah, ga sesuailah dengan umurmu, tapi secara pemikiran ga bocah-bocah banget kok, ya masih ada sisi childishnya, tapi masih batas wajar kok”.
Seperti tadi pagi, ketika bangun tidur tiba-tiba saya berpikir “iya ya, umur saya itu sudah 23 tahun, tapi kenapa seolah saya masih 21 tahun”. Hehehehe... entahlah. Seandainya dilihat dari segi pergaulan memang saya akui, saya lebih merasa nyaman dengan yang berusia di bawah saya atau adik kelas, saya merasa nyambung, dan mengerti, kalaupun yang seusia atau di atas saya, saya tanpa sadar “menuntut” mereka menjadi orang yang lebih dewasa daripada saya yang siap mendengar curahan hati, siap memarahi, mengingatkan, dsb.
Sebenarnya, saya tidak membatasi usia untuk menjadi teman saya. Tapi saya baru menyadarinya ternyata memang teman-teman dekat saya rata-rata adalah yang berusia di bawah saya *masih bisa gila bareng soalnya atau bukan satu angkatan (jika itu sekolah dan kuliah). Hehehehe. Dan entah mengapa, jika dengan teman sebaya, saya sering ga nyambung, ga klik, ga ngerti “dunia” mereka. Jadi sering berantem. Yaah, itulah saya.
Saya bertemu seorang teman, usianya di bawah saya, namun jika menurut jenjang pendidikan, angkatan dia di atas saya. Dia pernah bilang “kedewasaan seseorang itu dapat dilihat dari bagaimana dia menyelesaikan masalah”. Ya, kita sering terjebak dengan usia, pembawaan seseorang (bisa dengan cara bicara, caranya bersikap, dsb), gaya berpakaian, hobi, dsb, atau dengan kata lain cover-nya saja untuk menentukan kedewasaan.
*lt.4 gatsu 52-53, Selasa, 26 Oktober 2010
10:43:14 AM