Saya rasa, menikah
dan menjadi istri yang berbakti kepada suami dan menjadi ibu yang baik bagi
anak-anaknya adalah keinginan hampir setiap perempuan, begitupun dengan saya. Be great woman, great wife and great mom
adalah cita-cita saya dan saya yakin hampir semua perempuan mempunyai mimpi
yang sama dengan saya. Tujuan akhir yang sama belum tentu sama juga jalan untuk
mencapainya itu yang saya lihat.
Ini adalah hari ke 14
status PNS saya, saya lepas. Ya saya memutuskan resign setelah dua bulan menikah. Saya pribadi keputusan ini memang sudah menjadi komitmen awal antara
saya dengan suami, tetapi keputusan ini
bukan sesuatu yang mudah juga bagi saya. Alasan utama saya adalah saya tidak
mau LDM (Long Distance Marriage)
dengan suami, hitungan jarak Jakarta-Indramayu 2.5 jam dengan kereta, itu belum
jarak dari kantor saya ke Gambir, memang Gatsu-Gambir kalau lancar jaya itu
15-20 menit itu sampai tapi sebagai penghuni Jakarta selama 3 tahu, Jakarta itu unpredictable, apalagi jam-jam pulang kantor, minimal 1 jam
sebelumnya sudah harus jalan, sementara jarak antara stasiun Jatibarang ke
rumah 30 menit. Anggaplah 5 jam hitungan kotor, itu sangat melelahkan dengan
PJKA (Pulang Jum’at Kembali Ahad). Itu saya jalani satu bulan setiap weekend.
Di satu sisi tentunya
saya juga ingin suami yang datang ke Jakarta, tapi saya juga engga
tega, suami saya bukan termasuk pekerja yang Sabtu-Minggu dan tanggal merah
libur, tetapi dengan sistem 3-1 yang artinya tiga hari bekerja 1 hari libur,
sementara kerjanya di lapangan bukan seperti saya yang di tempat AC kerja bisa sambil ngobrol, kalau
capek bisalah rebahan bentar di musholla. Di sisi lain ternyata kalau setiap
weekend saya yang ke Indramayu akhirnya saya ambruk juga. Sakit flu dan batuk
engga sembuh-sembuh.
Keadaan ini semakin
memantapkan saya sekaligus mempercepat usaha saya untuk resign. Walaupun kedua
orang tua kami sudah tahu rencana dari awal, tapi pertentangan itu tetap ada
meskipun lama-lama mengerti juga kondisi ini. Saya tahu satu sisi, pandangan
(hanya) sebagai Ibu Rumah Tangga itu masih miring, ’’terus kamu mau ngapain di rumah?’’, ‘’nanti kalau suami mu bangkrut
kamu dapat penghasilan dari mana?’’, “ kalau kerja kamu kan dapat uang sendiri
bisa buat kamu sendiri”, ‘’ apa engga sayang keluar dari PNS?’’, pertanyaan-pertanyaan
itu muncul dari orang-orang di sekitar kami. Dari pertanyaan biasa sampai
pertanyaan yang cenderung nyinyir seperti kerpik Maicih level 10 semua ada.
Saya sempat ada di
posisi yang campur aduk, bagaimana pun, kenyataannya komentar negatif itu jauh
lebih banyak, sampai saya merasa keluar dari PNS itu seperti saya pindah agama,
semua mengganggap saya ini seolah pendosa. Tapi di sisi lain, keinginan saya
untuk lebih bisa fokus mengurus rumah tangga juga kuat. Memang dari sebelum
menikah suami sudah biasa kos, istilahnya sudah terbiasa mengurus diri sendiri, tetapi kalau
setelah nikah tetap sama lalu apa bedanya setelah menikah? Saya yang justru merasa
sangat bersalah.
Hidup ini memang
banyak pilihan, setiap keputusan memiliki dua sisi, baik positif maupun
negatif. Jika saya tetap bekerja sisi
positifnya dari segi financial
pemasukan kami lebih besar karena dari dua sumber, saya punya penghasilan
sendiri yang kalau saya mau jajan istilahnya saya engga perlu selalu minta suami, tetapi di sisi lain saya diliputi
rasa bersalah kepada suami meskipun suami saya mengijinkan saya bekerja, terus
LDM yang bagi saya itu tidak sehat, saya mungkin bisa saja jadi sombong karena
merasa toh saya tanpa suami punya
penghasilan sendiri, Naudzubillah.
Sementara jika saya resign mungkin
dari segi financial sekarang
sumbernya hanya dari suami, tapi kan sekarang saya juga sedang merintis usaha.
Saya bekerja di rumah, urusan beres-beres rumah dan segala teman-temannya
Alhamdulillah masih bisa terhandle, saya bisa ngobrol dengan suami kapan saja,
bayangkan saat kami LDM dulu, saya pulang kantor kadang suami saya berangkat
kerja, suami saya pulang saya yang berangkat kerja. Kadang kondisi sama-sama
capek,niatnya ngobrol bisa jadi berantem.
Apapun pilihan itu
bagi saya pasti ada dua sisi yang
mendampingi, tinggal bagaimana kita
menyikapi setiap pilihan kita, jangan mengganggap pilihan kita paling
benar, karena belum tentu itu pilihan yang terbaik bagi orang lain. Dan tolong
bagi yang lain pun, apapun pilihan yang saya ambil jangan menghakimi saya,
karena yang menurut kalian yang terbaik belum tentu terbaik bagi kehidupan kami.
Rumah Dahlia, Selasa
14 Mei 2013
09:32
:b:
BalasHapusnice writing...
hiduuuuppp adalah pilihaaaannn, lalala~
ahh maksih neng :*
BalasHapusneng ngamennya hari Jum'at aja yaa *kaboooorr
Saya sempat ada di posisi yang campur aduk, bagaimana pun, kenyataannya komentar negatif itu jauh lebih banyak, sampai saya merasa keluar dari PNS itu seperti saya pindah agama, semua mengganggap saya ini seolah pendosa.
BalasHapusIya ya ... masyarakat kita itu aneh. Seperti hakim kebanyakan dari mereka.
Saya salut sama keputusannya. Saya suka bertanya2 juga kalo pasangan yang terlalu lama LDM itu, lalu ngapai nikah ya :)
Salut, semoga rumahtangganya makin berkah dan samara ...
kak niar:Aamiin makasaih Ka... menurut saya kebanyakan masyarakat kita, jika kita menjalani sesuatu yg tdk spt umumnya dianggap salah... itu yg saya lihat dan alami...hehehe
BalasHapusNah.... saya kasih 10 jempol deh... keren atas pilihannya ...#gakmaujadipnssoalnya :)
BalasHapuskak isma: makasih kak...btw itu jempol siapa aja kak? banyak amat?
BalasHapusSalut dengan pilihannya Mba, dan tak ada yang salah dengan hal itu. Toh rezeki tak akan ari kemana, selama manusia hidup dan mau berusaha.
BalasHapusSemua pilihan membawa konsekuensi tersendiri dan kita yang menjalani tentu sedikit banyaknya bisa menilai mana yang lebih baik bagi hidup kita (tanpa mengeyampingkan campur tangan Allah.
Katanya hidup ini bebas menentukan pilihan, tapi tetap saja pandangan negatif hadir jika pilihan tak sesuai dengan pandangan masyarakat kebanyakan :-)
kak aisyah: yup yuup bener banget, bukankah Allah itu sebagaimana prasangka hambaNya...dan rejeki itu bisa dari pintu mana aja bukan cuma PNS, tinggal gimana usaha kitanya...
BalasHapus